Minggu, 27 Desember 2009

pangan dan kesehatan masalah kelaparan

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kelaparan yang mengakibatkan gizi buruk dan kurang gizi seperti yang diderita anak-anak diberbagai wilayah Indonesia bukanlah kejadian yang tiba-tiba muncul di Indonesia. Berbagai survei, penelitian dan berita media massa selalu mengulang laporan yang mengungkap kondisi bayi dan anak balita yang menderita kelaparan di berbagai wilayah Indonesia. Penghapusan kemiskinan merupakan tantangan global yang terbesar didunia ini, dan ini merupakan syarat mutlak bagi pembangunan yang berkelanjutan. Maka itu pemimpin Negara sedunia pada konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milineum di perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2000 menetapkan upaya mengurangi separuh dari kemiskinan didunia sebagai Tujuan Pembangunan Milineum (Milineum Development Goals) Indonesia juga telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pembangunan berkelanjutan, dimana pemerintah dan semua perangkat Negara bersama dengan berbagai unsure masyarakat memikul tangguang jawab utama untuk pembangunan berkelanjutan dan sekaligus pengentasan kemiskinan .
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana terjadinya kelaparan dan kamiskinan di Jawa Barat?
2. Bagaimana cara atau solusi untuk dapat mengentaskan masyarakat dalam terjadinya kelaparan dan kemiskinan
TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya kelaparan di Jawa Barat.
2. Untuk mengetahui cara atau solusi untuk mengatasi kelaparan dan kemiskinan yang terjadi di Jawa Barat
.

BAB II
PEMBAHASAN

KEMISKINAN DAN KELAPARAN DI JAWA BARAT
Paling sedikit 23,63 juta penduduk Indonesia terancam kelaparan saat ini, di antaranya 4,35 juta tinggal di Jawa Barat. Ancaman kelaparan ini akan semakin berat, dan jumlahnya akan bertambah banyak, seiring dengan Mereka yang terancam kelaparan adalah penduduk yang pengeluaran per kapita sebulannya di bawah Rp 30.000,00. Di antara orang-orang yang terancam kelaparan, sebanyak 272.198 penduduk Indonesia, berada dalam keadaan paling mengkhawatirkan. Dari jumlah itu, sebanyak 50.333 berasal dari Jawa Barat, di antaranya 10.430 orang tinggal di Kabupaten Bandung dan 15.334 orang tinggal di Kabupaten Garut. Mereka yang digolongkan terancam kelaparan dengan keadaan paling mengkhawatirkan adalah penduduk yang pengeluaran per kapitanya di bawah Rp 15.000,00 sebulan.
Angka Kemiskinan di Indonesia
Sebelum Indonesia terperosok ke dalam krisis ekonomi, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan “hanya” 22,5 juta. Oleh karena pemerintahan Orde Baru gagal menanggulangi krisis ekonomi, maka jumlah orang miskin membengkak menjadi 78,9 juta. Bila berpatokan pada angka kemiskinan BPS, maka jumlah orang miskin di Jawa Barat sekitar 14,85 juta, yang di antaranya 1,19 juta tinggal di Kabupaten Bandung, dan 284.000 orang tinggal di Kotamadya Bandung. Ada kemungkinan angka kemiskinan versi BPS terlalu kecil, apalagi bila pengukuran kemiskinan itu menggunakan patokan pengeluaran rumah tangga “ekuivalen nilai tukar beras” (dalam kg/orang/bulan). Bila mengacu pada tulisan Prof. Dr. Sajogyo, “Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan” (Yogyakarta, Aditya Media, 1996), maka yang digolongkan miskin adalah orang yang pengeluaran rumah tangganya sama dengan, atau di bawah 320 kg/orang/tahun untuk perdesaan, dan 480 kg/orang/tahun untuk perkotaan. (Sebagai perbandingan, dalam “Statistik Indonesia 1996″ yang diterbitkan BPS Pusat, garis kemiskinan di daerah perkotaan Rp 38.246,00 dan di daerah pedesaan Rp 27.413,00 per bulan per kapita). Jika patokan “ekuivalen nilai tukar beras” ini dipakai untuk menentukan garis kemiskinan, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 116,2 juta, sebanyak 37,6 juta tinggal di kota dan 78,6 juta tinggal di desa. Sedangkan orang yang terancam kelaparan di Indonesia menjadi 33,57 juta. Dalam keadaan krisis seperti ini, kita tak perlu berdebat mengenai angka kemiskinan mana yang lebih benar. Angka yang dikeluarkan BPS saja sudah mengerikan, apalagi bila kita menggunakan ukuran-ukuran yang lain.
PENYEBAB DAN YANG SOLUSI AGAR TIDAK ADA LAGI KELAPARAN DAN KEMISKINAN.
• Pertama kemiskinan di Indonesia umumnya adalah kemiskinan struktural yang terjadi karena kebijakan pemerintah yang keliru seperti kurangnya pemerintah dalam mengontrol harga kebutuhan pokok rakyat seperti pangan sehingga harga meroket dan tidak terbeli lagi oleh rakyat serta berbagai penggusuran terhadap pedagang pasar/kaki lima yang kerap diikuti dengan kebakaran yang menghanguskan modal dagangan mereka.
• Sikap sebagian elit pemerintah/politikus yang menutup mata seperti menyatakan bahwa Indonesia sudah tidak masuk negara miskin lagi karena pendapatan per kapita sebesar US$ 2.000/tahun sangat menyesatkan. Tapi yang miskin penghasilannya bisa hanya Rp 5.000-10.000 per hari seperti keluarga yang mati kelaparan. Jika dihitung pendapatan per kapita, maka keluarga dengan 2 anak tersebut pendapatannya hanya kurang dari US$ 73 per tahun per orang (1 US$=9.400 dan pendapatan keluarga Rp 7.500/hari). Sehari pendapatan per orang keluarga tersebut hanya US$ 0,2 per hari atau hanya Rp 1.875.
USAHA YANG DILAKUKAN AGAR KEMISKINAN DAN KELAPARAN BERKURANG
Untuk mengatasi kemiskinan, sikap tidak peduli macam di atas harus dibuang dulu, baru kita bisa maju. Pemerintah juga harus meralat standar angka kemiskinan 166.697 per bulan atau Rp 5.500 per hari juga sangat minim. Sebagai contoh, untuk sekali makan saja minimal perlu Rp 3.000. Jadi kalau 3 x makan, berarti butuh Rp 9.000. Ditambah minuman yang sehat (air masak) paling tidak Rp 500. Jadi hanya untuk makan minum perlu Rp 9.500 atau sekitar 1 dollar per hari. Itu baru untuk makan-minum. Belum untuk rumah, listrik, transport, pendidikan, sabun, dan sebagainya. Dengan menyadari jumlah rakyat miskin yang benar, kita baru bisa membantu orang miskin. Dana APBN sebesar Rp 800 trilyun harusnya separuhnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat. Bukan untuk memperbesar gaji para pejabat, renovasi rumah anggota DPR, apalagi sekedar studi banding dari Mall ke Mall di luar negeri. Utamakan separuh dana APBN untuk rakyat.
Busung lapar/kemiskinan bertambah banyak karena harga barang meroket jauh melebihi pertambahan penghasilan. Taruhlah dulu separuh penduduk Indonesia hidup cukup. Penghasilan mereka sebulan Rp 500 ribu dan kebutuhan hidup Rp 500 ribu. Ini bisa bertahan. Tapi begitu harga pangan seperti beras, kedelai, minyak goreng meroket hingga 2 kali lipat lebih sehingga kebutuhan hidup jadi Rp 1 juta per bulan, maka
rakyat Indonesia jadi kekurangan. Agar harga pangan tetap terjangkau oleh rakyat Indonesia yang sebagian besar miskin, pemerintah perlu menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk produk pangan yang sangat diperlukan seperti beras, kedelai, minyak goreng, dan minyak tanah. Minimal untuk produk kelas 3 yang tidak akan dikonsumsi oleh orang kaya. Untuk menjaga agar harga stabil, pemerintah bisa mengenakan Pajak Ekspor (PE) yang besarnya 4 kali lipat dari PPN dalam negeri. Misalnya jika harga minyak goreng menembus lebih dari Rp 8.000/liter, pemerintah bisa mengenakan PE sampai 40% sehingga penerimaan pajak pemerintah juga bertambah. Dengan PE minyak goreng 40% misalnya, pemerintah bisa dapat pajak sampai Rp 20 trilyun sementara eksportir minyak goreng tetap untung meski keuntungannya tidak besar. Agar pemerintah bisa menstabilkan harga dan tidak berulangkali dipermainkan oleh para pengusaha seperti pengusaha minyak goreng yang berulangkali menaikan harga, maka pemerintah harus menguasai 51% produk kebutuhan rakyat. Jika tidak, maka begitu pemerintah dan rakyat lengah, harga minyak goreng membubung lagi.
Tak ada salahnya pemerintah menganggarkan Rp 10 trilyun untuk mentransmigrasikan 100 ribu KK (400.000 jiwa) ke Sumatera dan kalimantan di mana tiap KK mendapat tanah 2 hektar. Pemerintah harus menyediakan lahan seluas 200 ribu hektar (2.000 km2). Harusnya tidak sulit mengingat luasnya pulau Sumatera dan kalimantan dan pemerintah telah memberikan jutaan hektar tanah kepada para konglomerat dan pengusaha asing. Minimal 1 dari 5 transmigran adalah petani sehingga mereka punya pengalaman untuk dibagikan ke transmigran lain. Sisanya adalah dari keluarga miskin yang rawan kena busung lapar. Dengan cara itu, keluarga miskin bisa lebih sejahtera karena bisa bertani, Indonesia bisa hemat devisa karena tidak perlu impor pangan dari luar, dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan baik sebagai buruh tani atau pun buruh pabrik pupuk karena produksi mereka bertambah. Dari 200 ribu hektar paling tidak bisa didapat panen
sekitar 2 juta ton makanan setiap tahun. Sebagian lahan bisa untuk tanaman padi, sebagian lain untuk kedelai dan juga pangan lain (selama tanahnya cocok) yang Indonesia masih kekurangan. Minimal itulah yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Kasus meroketnya kenaikan harga minyak goreng misalnya, itu kan terjadi dari Mei 2007. Untuk itu diperlukan kebijakan pembangunan di bidang ekonomi, pangan, kesehatan dan pendidikan, serta keluarga berencana yang saling terkait dan mendukung, yang secara terintegrasi ditujukan untuk mengatasi masalah gizi (kurang dan lebih) dengan meningkatkan status gizi masyarakat (World Bank, 2006).
Biotehknologi adalah merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan, karena penelitian biotekhnologi di dunia ini juga untuk mengatasi berbagai masalah, dari pangan hingga kesehatan. Apalagi sejak dikembangkannya teknologi rekombinan DNA (deoxyribose nucleid acid) yang memungkinkan manusia mampu menghasil¬kan sesuatu produk yang sebelumnya sulit dapat dibayangkan.
Masalah pangan dapat ditangani juga dengan kebijakan yang mendorong penyediaan pelayanan meliputi lima hal.
1. Pertama, pelayanan gizi dan kesehatan yang berbasis masyarakat seperti Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang dilaksanakan tahun 1970-1990an, penimbangan balita di Posyandu dengan KMS.
2. Kedua, pemberian suplemen zat gizi mikro seperti pil besi kepada ibu hamil, kapsul vitamin A kepada balita dab ibu nifas.
3. Ketiga, bantuan pangan kepada anak gizi kurang dari keluarga miskin.
4. Keempat, fortifikasi bahan pangan seperti fortifikasi garam dengan yodium, fortifikasi terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2.
5. Kelima, biofortifikasi, suatu teknologi budi daya tanaman pangan yang dapat menemukan varietas padi yang mengandung kadar zat besi tinggi dengan nilai biologi tinggi.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
• Kemiskinan dan kelaparan di Indonesia umumnya adalah kemiskinan struktural yang terjadi karena kebijakan pemerintah yang keliru seperti kurangnya pemerintah dalam mengontrol harga kebutuhan pokok rakyat seperti pangan sehingga harga meroket dan tidak terbeli lagi oleh rakyat serta berbagai penggusuran terhadap pedagang pasar/kaki lima yang kerap diikuti dengan kebakaran yang menghanguskan modal dagangan mereka.
• Kemiskinan dan kelaparan adalah salah satu tantangan global yang terbesar didunia ini, dan ini merupakan syarat mutlak bagi pembangunan yang berkelanjutan.

SARAN
• Dalam menangani masalah kelaparan dan kemiskinan pemerintah harus ikut andil dalam hal ini karena bila kebijakan-kebijakan yang dieluarkan pemerintah tidak dapat menekan harga-haga pangan maka kelaparan dan kemiskinan akan selalu bertambah setiap tahunnya
• Kelaparan dan kemiskinan juga merupakan tanggung jawab diri kita sendiri jadi kita harus selalu memperhitungkan pengeluaran yang akan kita keluarkan sama atau lebih dari pemasukan yang kita peroleh sehari-hari



DAFTAR PUSTAKA

Sumber: http://www.geocities.com/RainForest/Canopy/8087/miskin.htm
http://www.poskota.co.id/news_baca.asp?id=35008&ik=4
http://fprsatumei.wordpress.com/pengentasan_kemiskinan


















MASALAH KELAPARAN DAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pangan dan Kesehatan

Disusun Oleh :
Bambang Utomo (06320017)
Eka Yuniarsih (06320033)
Rustamaji (06320189)
Sri Mualimah (06320 )
Via Desy Virdiyanti (06320 )
Tasilah (06320 )
M. Hidayatur R (07320238)
Rosita Puspitasari (07320248)
V. Novita Triyulianti (07320259)

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
IKIP PGRI SEMARANG
2009

0 komentar:

Posting Komentar

di add ya

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

 
WELCOME TO BAMA ANDROID And SOFTWARE